Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2017

  • 20 Juni 2017
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82/PMK.03/2017

TENTANG

PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa ketentuan mengenai pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan;
  2. bahwa Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan telah dialihkan sebagai pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah;
  3. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.



Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
  4. Objek pajak PBB yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah objek pajak sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya.
  5. Pengurangan PBB adalah Pengurangan PBB yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB.
  6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  7. Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya denda administrasi, dan jumlah PBB yang terutang.
  8. Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
  9. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar.
  10. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disingkat Kanwil DJP adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan KPP.


Pasal 2

(1) Pengurangan PBB dapat diberikan kepada Wajib Pajak:
  1. karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau
  2. dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu kerugian dan kesulitan likuiditas pada:
  1. akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan; atau
  2. akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak melakukan pencatatan.
(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu kerugian komersial yang diketahui dari:
  1. laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh; atau
  2. pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, dalam hal Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan.
(4) Kesulitan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha.
(5) Bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor.
(6) Sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain kebakaran, wabah penyakit, wabah hama, huru-hara, kerusuhan, atau tindakan anarkis.


Pasal 3

(1) Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak atas PBB yang terutang yang tercantum dalam:
  1. SPPT;
  2. SKP PBB; dan/atau
  3. STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB.
(2) Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b diberikan kepada Wajib Pajak atas PBB yang terutang yang tercantum dalam:
  1. SPPT;
  2. SKP PBB; dan/atau
  3. STP PBB.


Pasal 4

(1) Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diberikan:
  1. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a; atau
  2. sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b.
(2) PBB yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
  1. jumlah pokok pajak yang tercantum dalam SPPT;
  2. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam SKP PBB; atau
  3. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam STP PBB.


Pasal 5

(1) Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditujukan kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP.
(2) Permohonan Pengurangan PBB karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak tidak sedang mengajukan keberatan PBB atas SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan PBB;
b. Wajib Pajak tidak mengajukan banding atas surat keputusan keberatan PBB;
c. Wajib Pajak tidak mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, atau Wajib Pajak mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permintaan karena tidak memenuhi persyaratan;
d. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan atas SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atas SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
e. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pembatalan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, yang tidak benar atau Wajib Pajak mengajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
f. Wajib Pajak tidak sedang mengajukan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB; dan
g. diajukan dalam jangka waktu:
1. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT;
2. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB;
3. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB; atau
4. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keputusan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB dalam hal:
a) permohonan pembetulan atas SPPT diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT; atau
b) permohonan pembetulan atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB.
(3) Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Permohonan Pengurangan PBB terhadap Objek Pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
  2. mencabut pengajuan keberatan PBB, banding, peninjauan kembali, serta permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar, atau pengurangan/penghapusan denda administrasi PBB, dalam hal atas pengajuan atau permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan atau putusan.


Pasal 6

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan besarnya persentase Pengurangan PBB yang dimohonkan dengan disertai alasan yang jelas;
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak, dan dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak, permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  4. tidak memiliki tunggakan PBB atas Objek Pajak yang dimohonkan Pengurangan PBB, kecuali dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 7

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dilampiri dengan fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan Pengurangan PBB.
(2) Dalam hal Pengurangan PBB karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilampiri dengan:
  1. fotokopi laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan; atau
  2. fotokopi dokumen pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, untuk Wajib Pajak yang melakukan pencatatan; dan
  3. fotokopi dokumen pendukung yang menyatakan Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB.
(3) Dalam hal Pengurangan PBB terhadap Objek Pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilampiri dengan:
  1. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
  2. surat keterangan dari instansi terkait sebagai bukti pendukung yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(4) Surat pernyataan Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 8

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disampaikan dengan cara:
  1. langsung;
  2. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat secara tercatat; atau
  3. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(2) Penyampaian permohonan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat oleh pegawai yang ditunjuk di KPP.
(3) Bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan bukti penerimaan surat permohonan.
(4) Tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tanggal surat permohonan diterima.


Pasal 9

Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan berwenang melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan PBB.



Pasal 10

(1) Kepala Kanwil DJP menindaklanjuti permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan menguji permohonan Pengurangan PBB terhadap pemenuhan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (1).
(2) Dalam hal permohonan Pengurangan PBB telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan tersebut ditindaklanjuti.
(3) Dalam hal permohonan Pengurangan PBB tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kanwil DJP mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi alasan pengembalian permohonan Pengurangan PBB.
(4) Dalam hal permohonan Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (1), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali.
(5) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) dan/atau Pasal 5 ayat (4), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali.
(6) Surat pengembalian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 11

(1) Terhadap permohonan Pengurangan PBB yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Kepala Kanwil DJP menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneliti permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kanwil DJP dapat meminta dokumen, data, informasi dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak melalui:
  1. penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan; dan/atau
  2. peninjauan di lokasi Objek Pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai Objek Pajak yang diajukan pengurangan denda administrasi PBB.
(3) Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat permintaan dikirim.
(4) Dalam rangka penelitian lebih lanjut, Kepala Kanwil DJP dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(5) Wajib Pajak harus memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
(6) Dalam rangka permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan melalui peninjauan lokasi Objek Pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (4), Kepala Kanwil DJP melakukan pemrosesan lebih lanjut permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang diterima dan/atau yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8) Surat permintaan dokumen, data, informasi dan/atau keterangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Surat permintaan dokumen, data, informasi dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 12

(1) Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan Pengurangan PBB diterima harus memberi keputusan atas permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Keputusan Kepala Kanwil DJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Kanwil DJP tidak menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB, permohonan Pengurangan PBB dianggap dikabulkan dan Kepala Kanwil DJP harus menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(4) Dalam hal:
  1. Wajib Pajak mengajukan permohonan Pengurangan PBB dengan mengemukakan besaran persentase melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
  2. Kepala Kanwil DJP menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
besarnya Pengurangan PBB yang ditetapkan dalam surat keputusan Pengurangan PBB paling tinggi sebesar persentase sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(5) Dalam hal:
  1. Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan telah menerbitkan keputusan Pengurangan PBB; dan
  2. Wajib Pajak mengajukan permintaan keterangan secara tertulis mengenai keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
Kepala Kanwil DJP memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 13

Dalam hal telah diterbitkan surat keputusan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Wajib Pajak tidak dapat lagi mengajukan permohonan Pengurangan PBB untuk Objek Pajak yang sama pada tahun pajak yang sama.



Pasal 14

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap semua permohonan Pengurangan PBB yang telah diterima sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diberikan keputusan, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 602).



Pasal 15

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146); dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 602),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 16

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juni 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 21 Juni 2017

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 875