Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013

  • 08 April 2013
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    DIGANTI


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 76/PMK.03/2013
 
TENTANG  
 
PENATAUSAHAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN
UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa sesuai dengan kewenangan Menteri Keuangan selaku pelaksana kekuasaan atas pengelolaan fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu diatur ketentuan mengenai tata cara penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi;
  2. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selama ini menjadi beban Pemerintah diubah sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan pembayaran pajak tersebut sebagai komponen biaya, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, pemegang Ijin Usaha Pertambangan Panas Bumi wajib membayar sendiri Pajak Bumi dan Bangunan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, perlu diatur kembali mengenai tata cara penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, baik yang pembayarannya dilakukan melalui pemindahbukuan maupun dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);
  6. Keputusan Presiden Nomor 76 Tahun 2000 tentang Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik;
  7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :     


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENATAUSAHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  4. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi.
  5. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
  6. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak.
  7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  8. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  9. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.
  10. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
  11. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi.
  12. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coal bed methan).
  13. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
  14. Penatausahaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran objek pajak, pengadministrasian objek pajak, penilaian NJOP, perhitungan, penetapan, pembayaran, dan penagihan PBB Migas dan PBB Panas Bumi.
  15. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
  16. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak.


BAB II
OBJEK PAJAK DAN SUBJEK PAJAK
PBB MIGAS DAN PBB PANAS BUMI

Pasal 2

(1) Objek pajak PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan, yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
(2) Objek pajak PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan, yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi.
(3) Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya dan wilayah di luar Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
(4) Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya dan wilayah di luar Wilayah Kerja atau wilayah sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan pertambangan Panas Bumi.


Pasal 3

(1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
(2) Permukaan bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi areal daratan (onshore) dan areal perairan lepas pantai (offshore), yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
(3) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian bumi yang berada di bawah permukaan bumi.


Pasal 4

Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di areal daratan (onshore) atau areal perairan lepas pantai (offshore).



Pasal 5

(1) Subjek Pajak PBB Migas adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Migas.
(2) Subjek Pajak PBB Panas Bumi adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Panas Bumi.
(3) Subjek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Migas menjadi Wajib Pajak PBB Migas.
(4) Subjek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Panas Bumi menjadi Wajib Pajak PBB Panas Bumi.


BAB III
PENATAUSAHAAN DATA OBJEK PAJAK PBB MIGAS
DAN PBB PANAS BUMI

Pasal 6

(1) Subjek Pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak PBB Migas dan PBB Panas Bumi dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri peta.
(2) LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP.
(3) Subjek Pajak atau Wajib Pajak harus menandatangani SPOP, dan dalam hal bukan Subjek Pajak atau Wajib Pajak yang menandatangani SPOP, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
(4) Subjek Pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak.


Pasal 7

(1) Tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) adalah :
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima secara langsung oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak; atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak melalui pos.
(2) Dalam hal tanggal diterima secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau tanggal stempel pos pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah tanggal sebelum 1 Januari Tahun Pajak, maka tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) adalah tanggal 1 Januari Tahun Pajak.
(3) Tanggal disampaikannya SPOP dan LSPOP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) adalah :
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima secara langsung oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP dikirim oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak melalui pos.


Pasal 8

Direktorat Jenderal Pajak berkoordinasi dengan badan atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, untuk:

  1. melaksanakan sosialisasi mengenai tata cara pengisian dan pengembalian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak;
  2. membantu percepatan pengembalian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi;
  3. memperoleh data yang terkait dengan pengisian SPOP dan LSPOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi;
  4. memfasilitasi penyampaian SPPT PBB Migas kepada Subyek Pajak atau Wajib Pajak.


Pasal 9

(1) Dalam hal Subjek Pajak atau Wajib Pajak:
  1. tidak menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Tegoran; atau
  2. menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang seharusnya terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP PBB.
(2) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terutang.


Pasal 10

(1) Kantor Pelayanan Pajak melakukan pengadministrasian data objek PBB Migas untuk areal daratan (onshore) dan PBB Panas Bumi berdasarkan wilayah kabupaten/kota atau wilayah DKI Jakarta, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak atau Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk dalam hal terdapat lebih dari satu Kantor Pelayanan Pajak dalam satu kabupaten/kota.
(2) Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk melakukan pengadministrasian data Objek PBB Migas untuk areal perairan lepas pantai (offshore) dan tubuh bumi.
(3) Penunjukan Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.


BAB IV
PENGENAAN PBB MIGAS DAN PBB PANAS BUMI

Pasal 11

(1) Dasar pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah NJOP.
(2) NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk permukaan bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar atau perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis.
(3) NJOP PBB Migas untuk tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) ditentukan melalui nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan:
  1. hasil perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi Minyak Bumi dan harga minyak mentah Indonesia; dan/atau
  2. hasil perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi gas bumi dan harga gas bumi.
(4) NJOP PBB Panas Bumi untuk tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) ditentukan melalui nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan:
  1. hasil perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi uap dan harga uap; dan/atau
  2. hasil perkalian angka kapitalisasi dengan hasil produksi listrik dan harga listrik.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk penentuan NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk tubuh bumi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi.
(6) Hasil produksi minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan minyak bumi yang terjual (lifting) dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak berjalan.
(7) Hasil produksi gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan gas bumi yang terjual dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak berjalan.
(8) Hasil produksi uap dan/atau listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan uap dan/atau listrik yang terjual dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak berjalan.
(9) NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk bangunan ditentukan melalui nilai perolehan baru sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi penyusutan.


Pasal 12

Menteri Keuangan dapat menetapkan harga minyak mentah Indonesia, harga gas bumi, harga uap, harga listrik, dan kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk penetapan NJOP PBB Migas dan NJOP PBB Panas Bumi dengan mempertimbangkan besaran harga dan nilai kurs yang digunakan dalam APBN/APBN Perubahan.



BAB V
PENETAPAN PBB MIGAS
DAN PBB PANAS BUMI

Pasal 13

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Migas atau PBB Panas Bumi menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari berdasarkan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan menerbitkan SPPT.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat akhir bulan April Tahun Pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan SPPT, salinan SPPT, dan rekapitulasi penerbitan SPPT kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan Mei Tahun Pajak.


BAB VI
PEMBAYARAN PBB MIGAS DAN PBB PANAS BUMI
MELALUI PEMINDAHBUKUAN

Pasal 14

(1) Pembayaran PBB Migas melalui pemindahbukuan berlaku untuk Wajib Pajak yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2) Pembayaran PBB Panas Bumi melalui pemindahbukuan berlaku untuk Wajib Pajak yang memiliki Kuasa, Izin Pengusahaan Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik atau Kontrak Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, dan/atau Kontrak Beli Uap atau Tenaga Listrik sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
(3) Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Juni.
(4) Besarnya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dihitung berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau SKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(5) Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi atas SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari pokok pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan/atau selisih pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(6) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diajukan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) karena tidak termasuk dalam bagian pemerintah yang disetor oleh Wajib Pajak ke Rekening Migas dan Panas Bumi.
(7) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
(8) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui pemindahbukuan dari rekening Migas dan rekening Panas Bumi ke rekening Bank Persepsi.


BAB VII
TATA CARA PEMINDAHBUKUAN

Pasal 15

(1) Permintaan pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) dilengkapi dengan dokumen :
  1. Daftar Ketetapan PBB Migas per Wajib Pajak serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB per Wajib Pajak per kabupaten/kota untuk areal daratan (onshore) dan salinan SPPT dan/atau SKP PBB per Wajib Pajak untuk areal perairan lepas pantai (offshore) dan tubuh bumi; dan
  2. Daftar Ketetapan PBB Panas Bumi per Wajib Pajak serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB per Wajib Pajak per kabupaten/kota.
(2) Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditembuskan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan tanpa dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilunasi paling lambat :
  1. 6 (enam) bulan untuk SPPT; atau
  2. 1 (satu) bulan untuk SKP PBB,
sejak permintaan pembayaran, beserta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh Direktorat Jenderal Anggaran.


Pasal 16

(1) Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian atas dokumen permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi per Wajib Pajak yang :
  1. sudah menyetorkan bagian pemerintah; dan
  2. belum menyetorkan bagian pemerintah.
(3) Dalam hal Wajib Pajak sudah menyetorkan bagian pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, besarnya PBB Migas dan PBB Panas Bumi menjadi faktor pengurang dalam perhitungan DBH Sumber Daya Alam Migas dan DBH Sumber Daya Alam Panas Bumi.
(4) Dalam hal Wajib Pajak belum menyetorkan bagian pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, besarnya PBB Migas dan PBB Panas Bumi menjadi beban pemerintah pusat.


Pasal 17

(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran mengajukan permintaan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permintaan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam 4 (empat) tahap.
(4) Dalam hal permintaan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dilaksanakan secara bertahap, Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan besaran dan waktu pembayaran untuk setiap tahap kepada Direktur Jenderal Pajak.
(5) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilunasi paling lambat minggu kedua bulan Desember.


Pasal 18

(1) Dalam hal dokumen permintaan pembayaran PBB Migas per Wajib Pajak dan PBB Panas Bumi per Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak lengkap, Direktur Jenderal Anggaran mengembalikan Daftar Ketetapan PBB dan salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang tidak lengkap kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi.
(2) Direktur Jenderal Pajak melengkapi Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya pengembalian dokumen dimaksud.
(3) Berdasarkan Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB yang telah dilengkapi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat 5 (lima) hari kerja untuk tahap pertama setelah diterimanya Daftar Ketetapan PBB serta salinan SPPT dan/atau SKP PBB secara lengkap dari Direktur Jenderal Pajak dan sesuai tanggal pentahapan untuk tahap berikutnya.


Pasal 19

Dalam penyelesaian pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi, Direktur Jenderal Anggaran melakukan secara rinci per-SPPT dan/atau SKP PBB dalam setiap tahap pembayaran.



Pasal 20

(1) Berdasarkan permintaan pemindahbukuan pembayaran dari Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemindahbukuan penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Rekening Migas Nomor 600.000411980 dan Panas Bumi Nomor 508.000084980 ke rekening Bank Persepsi yang ditunjuk.
(2) Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan permintaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 4 (empat) hari kerja setelah Direktur Jenderal Perbendaharaan menerima permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Direktur Jenderal Anggaran.


Pasal 21

Dalam hal terdapat perubahan data objek pajak setelah adanya pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi melalui pemindahbukuan, perubahan dimaksud diperhitungkan dalam penatausahaan dan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi pada Tahun Pajak berikutnya.



Pasal 22

(1) Berdasarkan hasil pemeriksaan, jika terdapat kurang bayar PBB Migas dan PBB Panas Bumi, kurang bayar tersebut dapat dibayarkan dalam APBN Perubahan tahun berjalan atau APBN tahun berikutnya.
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan, jika terdapat lebih bayar PBB Migas dan PBB Panas Bumi, lebih bayar tersebut dapat diperhitungkan dalam pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi pada tahun berikutnya.


BAB VIII
PEMBAYARAN PBB MIGAS DAN PBB PANAS BUMI
YANG DILAKUKAN SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK

Pasal 23

(1) Pembayaran PBB Migas yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak berlaku untuk Wajib Pajak yang kontraknya ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2) Pembayaran PBB Panas Bumi yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak berlaku untuk Wajib Pajak yang memiliki izin pengusahaan Panas Bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
(3) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh Wajib Pajak melalui Bank Persepsi yang ditunjuk.
(4) Bank Persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melimpahkan penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi ke rekening SUBRKUN KPPN nomor 501.000xxxxxx pada Bank Indonesia pada akhir hari kerja bersangkutan.
(5) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan Surat Setoran Pajak PBB.


BAB IX
BANK PERSEPSI

Pasal 24

(1) Bank Persepsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) dan pasal 23 ayat (3) ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
(2) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dicatat sebagai penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dengan kode akun PBB Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Energi Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai bagan akun standar.


BAB X
PENGALOKASIAN DAN PENYALURAN DANA BAGI HASIL
PBB MIGAS DAN PBB PANAS BUMI

Pasal 25

(1) Tata cara penghitungan dan penetapan alokasi sementara dan alokasi definitif dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai mekanisme pengalokasian anggaran transfer ke daerah.
(2) Tata cara penyaluran DBH PBB Migas dan DBH PBB Panas Bumi dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah.


Pasal 26

(1) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan rencana penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar perhitungan:
  1. pagu Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumber Daya Alam Migas dan Panas Bumi yang akan dituangkan dalam Rancangan APBN; dan
  2. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumber Daya Alam Migas dan Panas Bumi yang akan dibagihasilkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian rencana penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi yang digunakan dalam perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumber Daya Alam dan perhitungan DBH Sumber Daya Alam dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai mekanisme pengalokasian anggaran transfer ke daerah.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Ketentuan mengenai :

  1. bentuk dan tata cara pengisian SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
  2. penerbitan SKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
  3. pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
  4. penetapan besarnya pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 28

Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2012 tentang Penatausahaan dan Pemindahbukuan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 29

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 April 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


AMIR SYAMSUDIN



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 573