TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 239/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
BAB II
DASAR, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN JANGKA WAKTU
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Dasar Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 2
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan. |
(2) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan. |
(3) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan dengan indikasi kuat adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditemukan dari hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dapat langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang berkaitan dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak baik yang belum maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sepanjang terdapat indikasi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 3
Ruang lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan yaitu dugaan suatu Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Bagian Ketiga
Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 4
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan:
|
(2) | Dalam hal:
|
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis perihal Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan tentang adanya Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
Bagian Keempat
Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 5
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Apabila pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). |
(5) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
|
BAB III
STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 6
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaksanakan sesuai dengan:
Pasal 7
Standar umum Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a berkaitan dengan pemeriksa Bukti Permulaan, yaitu Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang:
Pasal 8
Standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 9
Standar pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
BAB IV
KEWAJIBAN, HAK, DAN KEWENANGAN
DALAM PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 10
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan wajib:
|
(2) | Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, wajib:
|
(3) | Pihak yang berkaitan atau pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan. |
Pasal 11
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka mempunyai hak meminta kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk:
Bagian Kedua
Kewenangan Pemeriksa Bukti Permulaan
Pasal 12
Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
BAB V
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 13
(1) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan menjadi dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(2) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterbitkan terhadap dugaan suatu Peristiwa Pidana. |
(3) | Untuk membantu tugas tim pemeriksa Bukti Permulaan, pejabat yang berwenang dapat menunjuk:
|
Pasal 14
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat mengganti Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi. |
(2) | Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat melakukan perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal dilakukan penggantian Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan. |
BAB VI
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERBUKA
Bagian Kesatu
Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 15
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan wajib menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap orang pribadi, Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, keluarga yang telah dewasa, atau kuasa. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap badan, Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada wakil, kuasa, atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Dalam hal penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui:
|
Pasal 16
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat langsung melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan. |
(2) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk menandatangani berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan penandatanganan. |
(4) | Berdasarkan berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berita acara penolakan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan. |
Bagian Kedua
Pengumpulan Bahan Bukti
Pasal 17
(1) | Dalam rangka memperoleh Bahan Bukti, pemeriksa Bukti Permulaan dapat memasuki dan/atau memeriksa tempat, ruang, dan/atau barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti. |
(2) | Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh, dengan segera pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan peminjaman Bahan Bukti tersebut dan membuat tanda terima peminjaman. |
(3) | Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan peminjaman dengan surat peminjaman. |
(4) | Bahan Bukti yang dipinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diserahkan kepada pemeriksa Bukti Permulaan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal pengiriman surat peminjaman. |
(5) | Setiap Bahan Bukti yang diperoleh pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuatkan tanda terima peminjaman. |
(6) | Dalam hal orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya tidak memenuhi permintaan peminjaman dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan. |
Bagian Ketiga
Penyegelan
Pasal 18
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan Penyegelan terhadap tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti. |
(2) | Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
(3) | Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan penyegelan dengan menggunakan tanda segel dan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan pelaksanaan Penyegelan dalam berita acara Penyegelan. |
(5) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan. |
Pasal 19
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat membuka segel dalam hal:
|
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan membuka segel dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan dan menuangkan dalam berita acara pembukaan segel. |
(3) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel. |
Pasal 20
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta bantuan pengamanan atau meminta sebagai saksi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau instansi atau unsur pemerintah daerah setempat dalam rangka Penyegelan dan/atau pembukaan segel. |
(2) | Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan tersebut dan melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sehubungan dengan tindak pidana terkait penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. |
Bagian Keempat
Permintaan Keterangan
Pasal 21
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, yaitu orang pribadi atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pegawai, pelanggan, pemasok, bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, dan pihak-pihak terkait lainnya. |
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan secara langsung atau didahului dengan pemanggilan. |
(3) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan permintaan keterangan di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain dengan alasan yang patut dan wajar. |
(4) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil permintaan keterangan dalam berita acara permintaan keterangan. |
(5) | Dalam hal keterangan dari pihak-pihak yang berkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara tidak terpenuhinya permintaan keterangan. |
Bagian Kelima
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Melalui Permintaan Secara Tertulis kepada Pihak Ketiga
Pasal 22
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan permintaan secara tertulis kepada pihak ketiga untuk mendapatkan keterangan dan/atau bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas orang pribadi, badan, dan/atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, dan pemasok. |
Bagian Keenam
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pasal 23
(1) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak pidana:
|
||||
(2) | Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk:
|
||||
(3) | Termasuk Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dapat dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang berkaitan dan berbarengan dengan tindak pidana tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. | ||||
(4) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. | ||||
(5) | Dalam melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus:
|
||||
(6) | Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat Objek Pajak diadministrasikan dan tembusannya kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
Pasal 24
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan pengujian atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(2) | Yang dimaksud sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah pembayaran atas pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar daripada jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan. |
(4) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 25
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tidak menghilangkan seluruh kerugian pada pendapatan negara. |
(2) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sepanjang pembayaran dilakukan sebelum surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(3) | Pembayaran yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak. |
(4) | Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu sebesar dua per lima bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya. |
(5) | Contoh cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VII
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERTUTUP
Bagian Kesatu
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Pasal 26
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan/atau melakukan permintaan secara tertulis kepada pihak ketiga untuk mendapatkan keterangan dan/atau bukti dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22.
Bagian Kedua
Pembetulan Surat Pemberitahuan
Pasal 27
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mempertimbangkan pembetulan Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam simpulan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan.
BAB VIII
PENANGGUHAN PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN VERIFIKASI
Pasal 28
Dalam hal orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau sedang dilakukan Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak:
Pemeriksaan ditangguhkan atau Verifikasi dihentikan.
BAB IX
LAPORAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
DAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 29
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
|
(2) | Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal ditemukan:
|
Bagian Kedua
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 30
(1) | Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ditindaklanjuti dengan:
|
(2) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diberitahukan secara tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan atau kuasa. |
Pasal 31
(1) | Dalam hal ditemukan Peristiwa Pidana selain yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Dalam hal ditemukan tindak pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan memberitahukan tindak pidana tersebut kepada pihak yang berwenang. |
(3) | Dalam hal ditemukan potensi pajak yang bukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan informasi mengenai potensi pajak tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilakukan tanpa menunggu Pemeriksaan Bukti Permulaan selesai. |
Bagian Ketiga
Keterlibatan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Pasal 32
(1) | Dalam hal ditemukan Bukti Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak melaporkan keterlibatan pegawai tersebut kepada Menteri Keuangan. |
(2) | Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda proses Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat. |
Bagian Keempat
Penyitaan dan Pengembalian Bahan Bukti
Pasal 33
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, Bahan Bukti yang diperoleh pemeriksa Bukti Permulaan yang diperlukan dalam proses Penyidikan dapat disita oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Bahan Bukti yang dipinjam pemeriksa Bukti Permulaan dari orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan, dikembalikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan membuat berita acara. |
(3) | Bahan Bukti yang dipinjam dari pemeriksa dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan, dikembalikan kepada pemeriksa dengan membuat berita acara. |
BAB X
BAHAN BUKTI BARU
Pasal 34
(1) | Dalam hal diperoleh Bahan Bukti baru setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan simpulan yang berbeda dengan simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelumnya telah diselesaikan dengan tindak lanjut selain Penyidikan. |
BAB XI
TINDAK PIDANA YANG DIKETAHUI SEKETIKA
Pasal 35
(1) | Tindak pidana yang diketahui seketika merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diketahui sedang berlangsung atau baru saja terjadi, yang memerlukan penanganan secara segera terhadap pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti yang ada padanya. |
(2) | Dalam rangka menangani pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara langsung meminta keterangan, meminjam dan/atau memeriksa Bahan Bukti. |
(3) | Dalam hal telah diperoleh Bukti Permulaan yang cukup, terhadap tindak pidana yang diketahui seketika dapat ditindaklanjuti dengan Penyidikan tanpa didahului Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
BAB XII
BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DAN LAPORAN KEJADIAN
Pasal 36
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, pejabat yang berwenang membuat Laporan Kejadian. |
(2) | Dalam hal diperoleh bukti permulaan yang cukup dari kegiatan:
|
BAB XIII
PERATURAN PELAKSANAAN
Pasal 37
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan/atau Peraturan Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan. |
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
(1) | Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini kecuali terhadap ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan oleh pemeriksa Bukti Permulaan dalam jangka waktu:
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1951