Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227/PMK.01/2020

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 227/PMK.01/2020
 
TENTANG
 
AKTUARIS
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

                                   

Menimbang :


  1. bahwa pengaturan mengenai profesi aktuaris dan kantor konsultan aktuaria telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.01/2016 tentang Aktuaris;
  2. bahwa pengaturan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sesuai dengan ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk melakukan pemberian izin usaha, pembinaan, dan pengawasan perusahaan konsultan aktuaria;
  3. bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.01/2016 tentang Aktuaris perlu disempurnakan agar pelaksanaannya lebih efektif dan efisien, sehingga perlu diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan yang baru;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Aktuaris;

 


Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
  4. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);

     

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN AKTUARIS.


 

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Aktuaris adalah seseorang yang telah memperoleh sertifikasi FSAI (Fellow of the Society of Actuaries of Indonesia) atau sertifikasi lain yang setara dan diakui oleh Asosiasi.
2. Aktuaris Beregister adalah Aktuaris yang telah terdaftar dalam register untuk memberikan Jasa aktuaria sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. 
3. Aktuaris Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa aktuaria kepada publik.
4. Ajun Aktuaris adalah seseorang yang telah memperoleh sertifikasi ASAI (Associate of the Society of Actuaries of Indonesia) atau sertifikasi lain yang setara dan diakui oleh Asosiasi.
5. Ajun Aktuaris Beregister adalah Ajun Aktuaris yang telah terdaftar dalam register untuk memberikan jasa aktuaria sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
6. Kantor Konsultan Aktuaria yang selanjutnya disingkat KKA, adalah badan usaha yang telah mendapat izin usaha dari Menteri yang didirikan oleh Aktuaris Publik untuk memberikan jasanya kepada publik.
7. Kantor Konsultan Aktuaria Asing yang selanjutnya disebut KKA Asing, adalah badan usaha di luar negeri yang telah memiliki izin dari otoritas di negara asal untuk melakukan kegiatan usaha sekurang-kurangnya di bidang aktuaria.
8. Rekan adalah Aktuaris Publik dan/atau seseorang yang merupakan sekutu pada KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma.
9. Pemimpin atau Pemimpin Rekan adalah Aktuaris Publik yang bertindak sebagai pemimpin pada KKA.
10. Kode Etik Aktuaris yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah pedoman etik profesi yang disusun oleh Asosiasi.
11. Standar Praktik Aktuaria yang selanjutnya disingkat SPA adalah pedoman praktik pemberian jasa aktuaria yang disusun oleh Asosiasi.
12. Laporan Jasa Aktuaria adalah dokumen tertulis yang memuat hasil analisis, opini dan/atau rekomendasi jasa aktuaria yang ditandatangani oleh Aktuaris Publik, termasuk seluruh dokumen yang dinyatakan sebagai laporan aktuaris sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Kertas Kerja adalah dokumen dalam bentuk tertulis, elektronik, atau bentuk lainnya, yang menggambarkan proses dan hasil kerja Aktuaris Publik.
14. Asosiasi adalah organisasi profesi nasional yang menaungi Ajun Aktuaris Beregister, Aktuaris Beregister, Aktuaris Publik, dan/atau KKA yang ditetapkan oleh Menteri.
15. Pendidikan Profesional Lanjutan yang selanjutnya disingkat PPL adalah pendidikan berkelanjutan terkait aktuaria yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi dan/atau Pusat Pembinaan Profesi Keuangan.
16. Satuan Kredit Poin yang selanjutnya disingkat SKP adalah satuan yang digunakan untuk menyatakan besaran waktu penyelenggaraan PPL.
17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
18. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan.
19. Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan yang selanjutnya disebut Kepala Pusat adalah Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Kementerian Keuangan.

      

Pasal 2

(1) Ruang lingkup jasa aktuaria meliputi:
a. pembuatan pernyataan aktuaria terkait produk asuransi, termasuk penentuan tarif premi dan profitabilitas produk; 
b. penentuan tingkat kesehatan keuangan dan kecukupan modal perusahaan perasuransian dan industri keuangan lain seperti dana pensiun;
c. penentuan liabilitas berupa cadangan perusahaan asuransi, dana pensiun, jaminan sosial, dan perusahaan lainnya yang memandatkan penggunaan penghitungan aktuaria; 
d. perkiraan margin risiko dan perencanaan kemungkinan pembayaran manfaat di masa depan untuk perasuransian dan industri keuangan lainnya seperti industri dana pensiun;
e. valuasi atas aspek aktuaria dan pemberian konsultasi atau pendapat yang memandatkan penggunaan penghitungan aktuaria; dan
f. jasa aktuaria lainnya atau yang diwajibkan untuk ditandatangani oleh Aktuaris Publik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam memberikan Jasa aktuaria, Aktuaris Publik dapat dibantu oleh Ajun Aktuaris Beregister dan Aktuaris Beregister. 
(3) Setiap badan usaha yang memiliki unit yang menyelenggarakan fungsi Jasa aktuaria harus mempekerjakan paling rendah Ajun Aktuaris Beregister atau Aktuaris Beregister.


Pasal 3

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan terkait profesi aktuaris, Menteri berwenang:

a. menyelenggarakan registrasi Ajun Aktuaris Beregister dan Aktuaris Beregister; 
b. memberikan izin bagi Aktuaris Publik, pengunduran diri Aktuaris Publik, izin KKA, penutupan KKA, perubahan nama KKA, dan perubahan bentuk badan usaha KKA; dan   
c. memberikan persetujuan bagi KKA yang akan melakukan kerja sama dengan KKA Asing.

     

 


 

BAB II
AJUN AKTUARIS BEREGISTER DAN AKTUARIS BEREGISTER

 

Pasal 4

(1) Dalam memberikan Jasa aktuaria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Ajun Aktuaris dan Aktuaris harus terlebih dahulu terdaftar dalam register yang diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Setiap orang yang telah terdaftar dalam register sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh piagam Ajun Aktuaris Beregister atau Aktuaris Beregister.
(3) Syarat untuk mendaftarkan register bagi Ajun Aktuaris atau Aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia; 
b. paling rendah berpendidikan diploma tiga atau setara untuk Aktuaris Beregister;
c. lulus ujian profesi:
1. ajun aktuaris untuk Ajun Aktuaris Beregister; atau 
2. aktuaris untuk Aktuaris Beregister;
yang diselenggarakan oleh Asosiasi atau organisasi asing yang setara dan diakui Asosiasi;
d. menjadi anggota Asosiasi; dan 
e. tidak pernah dikenai penghapusan register.
(4) Permohonan piagam Ajun Aktuaris Beregister atau Aktuaris Beregister diajukan kepada Kepala Pusat secara elektronik, dengan melampirkan hasil pindaian dokumen:
a. kartu tanda penduduk; 
b. ijazah, paling rendah berpendidikan diploma tiga atau setara untuk Aktuaris Beregister;
c. sertifikat tanda lulus ujian profesi ajun aktuaris atau tanda lulus ujian profesi aktuaris;
d. bukti keanggotaan Asosiasi; dan 
e. foto terakhir berwarna dan berlatar belakang biru.
(5) Piagam Ajun Aktuaris Beregister atau Aktuaris Beregister sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Pusat atas nama Menteri. 
(6) Piagam Ajun Aktuaris Beregister dan Aktuaris Beregister diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan piagam register diterima secara lengkap.

    

 


BAB III

AKTUARIS PUBLIK

 

Bagian Kesatu

Izin Aktuaris Publik

 

Pasal 5


(1) Setiap orang yang memberikan jasa aktuaria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau menandatangani Laporan Jasa Aktuaria harus terlebih dahulu memperoleh izin sebagai Aktuaris Publik dari Menteri.
(2) Aktuaris Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. aktuaris perusahaan pada perusahaan perasuransian atau perusahaan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. konsultan aktuaria pada KKA.
(3) Syarat untuk memperoleh izin Aktuaris Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. berstatus sebagai Aktuaris Beregister;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. paling rendah berpendidikan strata satu atau setara;
d. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun di bidang aktuaria; dan 
e. tidak pernah dikenai sanksi pencabutan izin Aktuaris Publik.
(4) Permohonan piagam Ajun Aktuaris Beregister atau Aktuaris Beregister diajukan kepada Kepala Pusat secara elektronik, dengan melampirkan hasil pindaian dokumen:
a. piagam Aktuaris Beregister;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. ijazah strata satu atau setara;
d. bukti keanggotaan Asosiasi;
e. surat keterangan pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun di bidang aktuaria dari tempat bekerja; dan
f. foto terakhir berwarna dan berlatar belakang biru.
(5) Dalam hal data dan informasi yang disampaikan dalam surat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terbukti tidak benar, Aktuaris Publik yang telah diterbitkan izinnya dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.


 

 

 

Bagian Kedua
Pengunduran Diri dan Tidak Berlakunya Izin Aktuaris Publik


Pasal 6

(1) Aktuaris Publik dapat mengundurkan diri sebagai Aktuaris Publik dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri.
(2) Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Kepala Pusat dengan melampirkan dokumen:
a. asli izin Aktuaris Publik; 
b. surat pernyataan penyelesaian perikatan profesional dengan klien, yang ditandatangani oleh Aktuaris Publik;
c. surat pernyataan persetujuan pengunduran diri yang ditandatangani oleh seluruh Rekan bagi Aktuaris Publik yang mempunyai KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma; dan 
d. asli izin KKA bagi Aktuaris Publik yang mempunyai KKA berbentuk badan usaha perseorangan.
(3) Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak jika Aktuaris Publik: 
a. sedang dalam proses pemeriksaan atau diadukan oleh pihak lain yang layak ditindaklanjuti; 
b. sedang menjalani kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan surat rekomendasi;
c. sedang dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin; atau 
d. merupakan Rekan pada KKA yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin.

     

 
Pasal 7

(1) Izin Aktuaris Publik dinyatakan tidak berlaku jika Aktuaris Publik meninggal dunia. 
(2) Dalam hal Aktuaris Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai KKA berbentuk badan usaha perseorangan, izin usaha KKA berbentuk badan usaha perseorangan dinyatakan tidak berlaku.

     


BAB IV
KANTOR KONSULTAN AKTUARIA
 
Bagian Kesatu
Badan Usaha Kantor Konsultan Aktuaria 


Pasal 8


(1) KKA dapat berbentuk badan usaha:
a. perseorangan; 
b. persekutuan perdata; atau
c. firma.
(2) KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma hanya dapat didirikan oleh Aktuaris Publik dengan jumlah paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan. 
(3) Dalam hal Rekan meninggal dunia atau mengundurkan diri dari KKA yang mengakibatkan tidak terpenuhinya komposisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KKA wajib memenuhi komposisi dimaksud paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya atau pengunduran diri Rekan yang bersangkutan.
(4) KKA yang tidak memenuhi komposisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan.


 


Bagian Kedua

Izin Kantor Konsultan Aktuaria


Pasal 9

(1) Aktuaris Publik dapat membuka KKA di seluruh wilayah Indonesia dengan terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri. 
(2) Syarat permohonan izin KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Pemimpin atau Pemimpin Rekan merupakan Aktuaris Publik; 
b. memiliki perjanjian kerja sama yang disahkan oleh notaris bagi KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma, paling sedikit memuat:
1. pihak-pihak yang melakukan persekutuan; 
2. nama dan domisili KKA;
3. bentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma;
4. penunjukkan salah satu rekan sebagai pemimpin rekan; 
5. hak dan kewajiban para rekan; dan
6. kesepakatan pengunduran diri rekan dan pembubaran KKA.
c. mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang pegawai tetap, yang 1 (satu) di antaranya paling rendah merupakan Ajun Aktuaris Beregister;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. seluruh Rekan merupakan anggota Asosiasi;
f. memiliki bukti kepemilikan atau sewa kantor dan denah ruangan yang menunjukkan kantor yang terpisah dari kegiatan lain;
g. memiliki sistem pengolahan data; dan
h. memiliki dokumen sistem pengendalian mutu sesuai dengan standar yang disusun Asosiasi dan menyatakan bahwa tanggal berlakunya sesuai dengan tanggal penetapan izin KAA.
(3) Permohonan izin KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Pusat secara elektronik dengan melampirkan hasil pindaian dokumen:
a. perjanjian kerja sama bagi permohonan izin KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma; 
b. daftar pegawai tetap KKA;
c. bukti keanggotaan seluruh Rekan pada Asosiasi;
d. bukti kepemilikan atau sewa kantor dan denah ruangan;
e. bukti sistem pengolahan data yang dimiliki; dan
f. dokumen sistem pengendalian mutu KKA.

   Bagian Ketiga


Nama Kantor Konsultan Aktuaria   


Pasal 10


(1) KKA berbentuk badan usaha perseorangan menggunakan nama Aktuaris Publik yang bersangkutan.
(2) KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma menggunakan nama salah seorang atau lebih Rekan yang merupakan Aktuaris Publik.
(3) Dalam hal jumlah Rekan pada KKA lebih banyak dari jumlah Rekan yang namanya tercantum dalam nama KKA, di belakang nama KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambahkan frasa "dan Rekan".
(4) Dalam hal KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma akan mempertahankan nama Aktuaris Publik yang telah meninggal dunia sebagai nama KKA, maka KKA dimaksud wajib mendapat persetujuan tertulis dari ahli waris Aktuaris Publik yang disahkan dengan akta notaris.
(5) Apabila nama Aktuaris Publik yang telah meninggal dunia dipertahankan sebagai nama KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KKA wajib memenuhi komposisi Rekan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan sejak meninggalnya Rekan KKA.
(6) KKA yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin.
(7) KKA yang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi komposisi Rekan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa peringatan.


 

Pasal 11

(1) KKA wajib memasang papan nama pada bagian depan kantor KKA dengan mencantumkan paling sedikit nama dan nomor izin usaha sesuai dengan yang tercantum dalam izin KKA.
(2) KKA wajib menggunakan kop surat dalam setiap komunikasi tertulis dan dokumen resmi KKA, paling sedikit mencantumkan:
a. nama dan nomor izin usaha KKA sesuai izin; dan
b. alamat kantor dan surat elektronik KKA.
(3) KKA yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan.

    

Bagian Keempat
Perubahan Nama dan/atau Bentuk Badan Usaha Kantor Konsultan Aktuaria

 
Pasal 12

(1) KKA yang melakukan perubahan nama dan/atau bentuk badan usaha wajib terlebih dahulu mendapat izin Menteri. 
(2) Permohonan perubahan nama dan/atau bentuk badan usaha KKA diajukan kepada Kepala Pusat secara elektronik dengan melampirkan hasil pindaian dokumen:
a. perubahan perjanjian kerja sama yang disahkan oleh notaris bagi KKA berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma; 
b. Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah diubah; dan 
c. asli izin KKA sebelumnya.
(3) Dalam hal perubahan nama dan/atau bentuk badan usaha KKA tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KKA dimaksud dikenai sanksi administratif berupa peringatan.

     

Bagian Kelima
Penutupan Kantor Konsultan Aktuaria
 
Pasal 13

(1) Pemimpin atau Pemimpin Rekan dapat melakukan penutupan KKA dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri. 
(2) Permohonan penutupan KKA diajukan oleh Pemimpin atau Pemimpin Rekan secara tertulis kepada Kepala Pusat, dengan melampirkan dokumen:
a. surat pernyataan penutupan yang ditandatangani oleh:
1. Pemimpin, bagi KKA yang berbentuk badan usaha perseorangan; atau
2. seluruh Rekan, bagi KKA yang berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma;
b. surat pernyataan tentang penyelesaian perikatan dengan klien yang ditandatangani oleh:
1. Pemimpin, bagi KKA yang berbentuk badan usaha perseorangan; atau
2. seluruh Rekan, bagi KKA yang berbentuk badan usaha persekutuan perdata atau firma;
c. asli izin KKA yang akan ditutup; dan 
d. laporan tahunan dalam bentuk tertulis atau elektronik, mulai awal tahun buku sampai dengan tanggal permohonan penutupan KKA sesuai format laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
(3) Pemimpin atau Pemimpin Rekan tidak dapat mengajukan penutupan, dalam hal KKA:
a. sedang menjalani kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan surat rekomendasi; atau
b. sedang dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin.
(4) Dalam hal penutupan KKA dilakukan tanpa persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin atau Pemimpin Rekan dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin Aktuaris Publik.

     


Bagian Keenam
Kerja Sama dengan Kantor Konsultan Aktuaria Asing 


Pasal 14


(1) KKA dapat melakukan kerja sama dengan KKA Asing dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Pusat.
(2) KKA yang telah mendapat persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencantumkan nama KKA Asing pada papan nama, kop surat, dokumen, atau media lainnya, bersama-sama dengan nama KKA.
(3) Pencantuman nama KKA Asing dilarang:
a. melebihi besarnya huruf nama KKA; dan/atau
b. mencantumkan nama yang belum mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Pusat.
(4) Permohonan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemimpin atau Pemimpin Rekan kepada Kepala Pusat secara elektronik dengan melampirkan dokumen hasil pindaian dokumen:
a. perjanjian kerja sama yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan disahkan oleh notaris, paling sedikit memuat bahwa:
1. kerja sama dilakukan secara langsung dengan 1 (satu) KKA Asing yang sedang tidak melakukan kerja sama dengan KKA lain; 
2. kerja sama paling sedikit mencakup Jasa aktuaria;
3. terdapat dukungan teknis dan alih pengetahuan dari KKA Asing; dan 
4. kesepakatan pengakhiran kerja sama.
b. profil perusahaan KKA Asing.
(5) Persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(6) KKA yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan.


 

BAB V
TATA CARA PEMBERIAN IZIN
 
Pasal 15

(1) Izin Aktuaris Publik, pengunduran diri Aktuaris Publik, izin KKA, penutupan KKA, perubahan nama KKA, dan perubahan bentuk badan usaha KKA ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Permohonan yang dinyatakan tidak lengkap disampaikan melalui pemberitahuan tertulis oleh Kepala Pusat paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
(4) Pemohon dapat melengkapi persyaratan yang dinyatakan tidak lengkap paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis ditetapkan.
(5) Jika kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi, permohonan tidak diproses dan dianggap tidak disampaikan.
(6) Kepala Pusat dapat menunjuk pejabat dan/atau pegawai untuk melakukan penelitian langsung terhadap permohonan izin yang diajukan.

 


BAB V
PELAKSANAAN PINJAMAN
 
Bagian Kesatu
Penganggaran
 
Pasal 16

(1) Berdasarkan surat Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (7), Menteri mengusulkan alokasi anggaran Dana Pinjaman dalam Rancangan APBN dan/atau Rancangan APBN-Perubahan.
(2) Pengalokasian anggaran Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bendahara umum negara, dan pengesahan DIPA BUN.

     

 Pasal 17

(1) Berdasarkan alokasi Dana Pinjaman dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan diterbitkan DIPA BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran Dana Pinjaman.


Pasal 18

(1) Dalam hal persetujuan Menteri atas permohonan pinjaman LPS diberikan setelah Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan ditetapkan dan tidak terdapat rencana perubahan terhadap Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan, Menteri mengajukan permohonan persetujuan pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan alokasi Dana Pinjaman.
(3) Dalam hal persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat karena suatu dan lain hal belum dapat ditetapkan dalam jangka waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah permohonan persetujuan disampaikan Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan alokasi Dana Pinjaman.
(4) Kewenangan penetapan alokasi Dana Pinjaman oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan Tahun Anggaran berkenaan.
(5) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui sebagian atau menolak permohonan persetujuan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut kepada LPS secara tertulis.


Pasal 19

(1) Berdasarkan alokasi Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) atau Pasal 18 ayat (3) dilakukan revisi DIPA BUN.
(2) Revisi DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara revisi anggaran.
(3) DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran Dana Pinjaman.


Bagian Kedua
Perjanjian
 
Pasal 20

(1) Berdasarkan penetapan alokasi Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1), Kepala Badan Kebijakan Fiskal menyampaikan kelengkapan dokumen permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan dokumen lainnya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) Dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. dokumen komparisi;
b. surat persetujuan pinjaman;
c. surat kuasa apabila Ketua Dewan Komisioner LPS berhalangan; dan
d. dokumen lainnya yang diperlukan dalam penyusunan Perjanjian.
(3) Berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan bersama Kepala Eksekutif LPS menyusun Perjanjian Pinjaman dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap.
(4) Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Menteri dan Ketua Dewan Komisioner LPS.
(5) Dalam hal Menteri berhalangan, Direktur Jenderal Perbendaharaan bertindak untuk dan atas nama Menteri menandatangani Perjanjian Pinjaman bersama dengan Ketua Dewan Komisioner LPS.
(6) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner LPS berhalangan, penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh anggota Dewan Komisioner LPS yang ditunjuk mewakili Ketua Dewan Komisioner LPS.
(7) Penunjukan anggota Dewan Komisioner LPS yang mewakili Ketua Dewan Komisioner LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan berdasarkan surat keputusan/surat kuasa Ketua Dewan Komisioner LPS.

     

Pasal 21

Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 paling sedikit memuat pokok materi sebagai berikut:

a. identitas para pihak;
b. tujuan;
c. nilai pinjaman;
d. tingkat suku bunga;
e. jadwal pencairan;
f. hak dan kewajiban;
g. mekanisme pembayaran kewajiban;
h. ketentuan dan persyaratan pinjaman;
i. jaminan pinjaman;
j. jangka waktu pinjaman;
k. jangka waktu penarikan/pencairan pinjaman;
l. masa tenggang;
m. percepatan pembayaran;
n. denda; dan
o. keadaan kahar.

    

Pasal 22

(1) SBN yang dimiliki LPS merupakan jaminan atas pemberian pinjaman dari Pemerintah.
(2) SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung setelah dikurangi pajak penghasilan.
(3) Dalam hal diperlukan, Menteri dapat meminta jaminan lain/tambahan di luar jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Jaminan lain/tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain.
(5) LPS tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jaminan lain/tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak lain yang masih dalam status sebagai jaminan, selama masa pinjaman atau sampai adanya keterangan lunas atau dengan persetujuan dari Menteri.
(6) Ketentuan/kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan dalam surat pernyataan kepada Menteri.
(7) Pelaksanaan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 23

(1) Dana Pinjaman menggunakan mata uang Rupiah.
(2) Tingkat suku bunga pinjaman yang dikenakan atas Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada sumber dana pinjaman dengan ketentuan:
a. dalam hal pinjaman bersumber dari SAL, tingkat suku bunga setara imbal hasil SBN dan interest margin (spread) dengan tenor terdekat;
b. dalam hal sumber dana pinjaman berasal dari penerbitan utang, tingkat suku bunga setara imbal hasil SBN dengan tenor terdekat; dan
c. dalam hal sumber dana pinjaman berasal dari SAL dan penerbitan utang, tingkat suku bunga dihitung secara tertimbang.

          

 Pasal 24

Perubahan Perjanjian Pinjaman dapat dilakukan karena:

a. LPS mengajukan usulan perubahan dan mendapat persetujuan Menteri;
b. Menteri menganggap perlu untuk dilakukan perubahan;
c. kebijakan Pemerintah; dan/atau
d. ketentuan peraturan perundang-undangan.

     


 Pasal 25

Ketentuan mengenai Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 berlaku secara mutatis mutandis dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Pinjaman.

 


BAB VI
PENCAIRAN PINJAMAN
 
Bagian Kesatu
Pejabat Perbendaharaan
 
 Pasal 26

(1) Dalam pemberian Dana Pinjaman, Menteri selaku PA BUN menunjuk pimpinan unit eselon II yang mempunyai tugas dan fungsi penerusan pinjaman di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku KPA Penyalur Dana Pinjaman.
(2) KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan keputusan untuk menunjuk PPK dan PPSPM.
(3) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Kepala KPPN mitra kerja selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
(4) Dalam hal tidak terdapat penggantian KPA, PPK, dan PPSPM pada Tahun Anggaran berikutnya, KPA BUN cukup menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPPN.


 Pasal 27

KPA BUN bertanggung jawab secara formal kepada Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara atas:

a. penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara Dana Pinjaman;
b. penyaluran Dana Pinjaman kepada LPS; dan
c. penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan keuangan penyaluran Dana Pinjaman.

     


 Pasal 28

PPK bertanggung jawab secara formal terhadap:

a. penyusunan rencana penarikan dana;
b. pengujian administrasi tagihan, meliputi:
1. kesesuaian jumlah tagihan yang tercantum pada surat tagihan dengan kuitansi tagihan Dana Pinjaman;
2. kelengkapan dokumen surat tagihan; dan
3. kesesuaian kode akun dalam surat tagihan;
c. pengujian terhadap ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN; dan
d. penerbitan SPP-LS.

     

Pasal 29

PPSPM bertanggung jawab secara formal terhadap:

a. pengujian administrasi kuitansi tagihan Dana Pinjaman dan surat pernyataan tanggung jawab pengeluaran pembiayaan yang tercantum dalam SPP-LS;
b. pengujian ketersediaan dan pembebanan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN; dan
c. penerbitan SPM-LS.


Bagian Kedua
Pencairan
 
Paragraf I
Ketentuan Umum Pencairan
 
Pasal 30

(1) LPS menyampaikan permohonan pencairan pinjaman kepada KPA Penyalur Dana Pinjaman dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Anggaran apabila kesulitan Likuiditas LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) akan terealisasi dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ke depan.
(2) PPK dan PPSPM melakukan penilaian dalam bentuk pengujian terhadap administrasi tagihan dan ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN, dan pengujian terhadap SPP-LS.

     


Pasal 31

Besaran pinjaman dari Pemerintah kepada LPS dapat dicairkan sesuai hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).

 


Pasal 32

Pencairan Dana Pinjaman Pemerintah kepada LPS dilakukan dengan cara transfer ke rekening LPS.

 


 Pasal 33

(1) Berdasarkan DIPA BUN BA 999.04, LPS menyampaikan kepada KPA BUN:
a. spesimen tanda tangan pejabat yang menandatangani surat tagihan dan kuitansi tagihan pemberian Dana Pinjaman; dan
b. nomor rekening untuk pemberian Dana Pinjaman.
(2) Dalam hal terjadi perubahan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau nomor rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, LPS menyampaikan perubahan spesimen tanda tangan dan/atau nomor rekening kepada KPA BUN.

     

Paragraf II
Pemrosesan Pencairan oleh KPA BUN
 
 Pasal 34

(1) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS kepada KPA BUN dalam bentuk surat tagihan.
(2) Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
a. Kuitansi Tagihan Pemberian Dana Pinjaman yang disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b. Rencana Penggunaan Dana Pinjaman yang memuat daftar tagihan pemberian Dana Pinjaman yang telah dimutakhirkan yang disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
c. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
d. Surat Persetujuan Menteri atas Permohonan Pinjaman; dan
e. Perjanjian Pinjaman.
(3) KPA meneruskan surat tagihan kepada PPK.

 

     

Paragraf III
Pemrosesan Pencairan oleh PPK dan PPSPM
 
 Pasal 35

(1) PPK melakukan pengujian terhadap administrasi tagihan dan ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN berdasarkan surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
(2) Dalam hal tagihan sudah dinyatakan lengkap dan benar, PPK menerbitkan SPP-LS dan menyusun Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengeluaran Pembiayaan (SPTPP) berdasarkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang dibuat oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, untuk ditandatangani KPA.
(3) SPTPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) PPK menyampaikan SPP-LS kepada PPSPM dengan dilampiri Kuitansi Tagihan Pemberian Dana Pinjaman dan SPTPP.

     

 Pasal 36

(1) PPSPM melakukan pengujian atas SPP-LS yang diajukan PPK terhadap administrasi Kuitansi Tagihan Pemberian Dana Pinjaman dan SPTPP yang tercantum dalam SPP-LS serta ketersediaan dan pembebanan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN.
(2) Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPSPM membuat, menandatangani, dan menyampaikan SPM-LS dan SPTPP kepada Kepala KPPN.

     

Bagian Ketiga
Penggunaan Dana Pinjaman
 
 Pasal 37

Dalam hal terjadi pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pemerintah c.q. Menteri melaporkan pemberian pinjaman tersebut dalam APBN-Perubahan tahun berjalan dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun berkenaan.

 


 Pasal 38

Pemberian Dana Pinjaman kepada LPS dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dengan memerhatikan:

a. Rencana Penggunaan Dana Pinjaman yang memuat daftar kebutuhan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b; dan
b. ketersediaan kas pemerintah.


 Pasal 39

Tata cara pengajuan, penerbitan, dan pengujian SPM-LS serta penerbitan surat perintah pencairan dana mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN atas beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada KPPN.

 


 Pasal 40

Dalam pengajuan usulan penggunaan anggaran, penyampaian tagihan, dan pelaporan atas penggunaan Dana Pinjaman, KPA BUN dapat berkoordinasi dengan LPS.

 


Pasal 41

Ketentuan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan Dana Pinjaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 


BAB VII
PENAMBAHAN PINJAMAN DAN PEMBAYARAN KEMBALI
 
Bagian Kesatu
Penambahan Pinjaman
 
 Pasal 42

Dalam hal diperkirakan terjadi tambahan kebutuhan Dana Pinjaman yang melebihi pagu pinjaman yang telah ditetapkan, Ketua Dewan Komisioner LPS dapat menyampaikan permohonan pinjaman baru kepada Menteri.

 


 Pasal 43

Ketentuan mengenai permohonan pinjaman dan penganggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku mutatis mutandis terhadap pengajuan penambahan jumlah pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.

 


Bagian Kedua
Pembayaran Kembali
 
 Pasal 44

Pembayaran kembali pinjaman oleh LPS disetorkan ke rekening penerimaan pada rekening dana investasi atau rekening lain yang ditetapkan oleh Menteri.

 


 Pasal 45

(1) LPS dapat mengajukan usulan percepatan pembayaran kembali pinjaman kepada Menteri.
(2) Skema percepatan pembayaran kembali pinjaman LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

     

 Pasal 46

Menteri memberikan surat keterangan lunas kepada LPS setelah pelunasan keseluruhan pinjaman kepada Menteri.

 


BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PINJAMAN
 
Bagian Kesatu
Pelaporan
 
 Pasal 47

(1) Selama masa pelaksanaan pinjaman, Ketua Dewan Komisioner LPS menyampaikan laporan penggunaan Dana Pinjaman kepada Menteri dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam Perjanjian Pinjaman.

     

 Pasal 48

(1) Terhadap penggunaan Dana Pinjaman dilakukan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPS kepada Menteri.

     

 Pasal 49

(1) Ketua Dewan Komisioner LPS selaku penanggung jawab kegiatan bertanggung jawab secara formal dan materiil terhadap:
a. kebenaran data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan pemutakhirannya;
b. penggunaan Dana Pinjaman atas penyaluran dana dari KPA BUN;
c. kegiatan penggunaan Dana Pinjaman; dan
d. pembukuan penggunaan Dana Pinjaman.
(2) Tanggung jawab formal dan materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak oleh LPS.


Bagian Kedua
Pemantauan dan Evaluasi
 
 Pasal 50

(1) Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penarikan, penyaluran, penyerapan, dan pembayaran kembali pinjaman Pemerintah kepada LPS.
(2) Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat berkoordinasi dengan unit terkait.
(3) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan:
a. mengambil langkah-langkah penyelesaian atas permasalahan pinjaman termasuk rekomendasi pembatalan pinjaman kepada Menteri, dalam hal:
1. penyerapan pinjaman mengalami keterlambatan yang sangat jauh menyimpang dari rencana penarikan;
2. penggunaan pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Pinjaman; dan/atau
3. terdapat indikasi gagal bayar;
b. menerbitkan laporan perkembangan pinjaman secara semesteran dan disampaikan kepada Menteri.
 

          

Bagian Ketiga
Penatausahaan
 
Pasal 51

(1) Penatausahaan atas pinjaman kepada LPS dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. administrasi pengelolaan pinjaman; dan
b. akuntansi pemberian pinjaman.

          

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 52

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 April 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 16 April 2020

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA

 



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 375