TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 196/PMK.03/2021
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN
PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
BAB II
PENGUNGKAPAN HARTA BERSIH YANG TIDAK ATAU KURANG
DIUNGKAPKAN DALAM SURAT PERNYATAAN
Pasal 2
(1) | Wajib Pajak dapat mengungkapkan Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud. |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. |
(3) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai Harta dikurangi nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. |
(4) | Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. |
(5) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
Pasal 3
(1) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sebesar jumlah Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Nilai Harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan huruf e, nilai Harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku juga untuk menghitung nilai Utang dalam hal nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Kurs yang digunakan untuk penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) berlaku ketentuan:
|
Pasal 4
Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.
BAB III
PENGUNGKAPAN HARTA BERSIH YANG BELUM DILAPORKAN
DALAM SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK
PENGHASILAN ORANG PRIBADI TAHUN PAJAK 2020
Pasal 5
(1) | Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan Harta bersih yang:
|
(2) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai Harta dikurangi nilai Utang. |
(3) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2020. |
(4) | Wajib Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
|
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi kewajiban Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan dan tidak termasuk kewajiban Wajib Pajak orang pribadi sebagai wakil atau kuasa. |
(6) | Kondisi Wajib Pajak orang pribadi sedang dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a yaitu apabila surat pemberitahuan pemeriksaan telah disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(7) | Kondisi Wajib Pajak orang pribadi sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b yaitu apabila surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan telah disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(8) | Kondisi Wajib Pajak orang pribadi sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c yaitu apabila mulainya penyidikan telah diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(9) | Kondisi Wajib Pajak orang pribadi sedang dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d yaitu apabila perkara Wajib Pajak yang bersangkutan telah dilimpahkan oleh penuntut umum untuk disidangkan di pengadilan sampai dengan diucapkannya putusan oleh hakim. |
Pasal 6
(1) | Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
|
||||||||||||||||||||||||||
(4) | Dasar pengenaan pajak untuk Harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sebesar:
|
||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal harga perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak diketahui, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai wajar yang menggambarkan kondisi dan keadaan pada tanggal 31 Desember 2020 dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian Wajib Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020. | ||||||||||||||||||||||||||
(7) | Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak 2020 sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku juga untuk menghitung nilai Utang dalam hal nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah. | ||||||||||||||||||||||||||
(8) | Kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) menggunakan kurs pada tanggal 31 Desember 2020 sesuai Keputusan Menteri Nomor 56/KM.10/2020 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak Penghasilan yang Berlaku untuk Tanggal 30 Desember 2020 sampai dengan 5 Januari 2021. |
Pasal 7
(1) | Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Wajib Pajak orang pribadi yang mengungkapkan Harta bersih juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Ketentuan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi permohonan yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020. | ||||||||
(3) | Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020 setelah Undang-Undang diundangkan, dan Wajib Pajak tersebut menyampaikan SPPH, pembetulan atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut dianggap tidak disampaikan. | ||||||||
(4) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sampai dengan Undang-Undang diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 8
(1) | Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang mengungkapkan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2020, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH. |
(2) | Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pajak Penghasilan orang pribadi, pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali atas pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan. |
Pasal 9
(1) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi lain mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1):
|
||||
(2) | Termasuk dalam pengertian Harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
BAB IV
TATA CARA PENGUNGKAPAN HARTA BERSIH
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak mengungkapkan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) dengan menyampaikan SPPH secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. | ||||||||||||||||
(2) | Penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. | ||||||||||||||||
(3) | Penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat. | ||||||||||||||||
(4) | SPPH yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan:
|
||||||||||||||||
(5) | Pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f disamakan kedudukannya dengan surat permohonan pencabutan:
|
||||||||||||||||
(6) | Dalam hal upaya hukum yang dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merupakan permohonan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali, Wajib Pajak harus melampiri SPPH dengan salinan surat permohonan pencabutan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali kepada pengadilan pajak dan/atau Mahkamah Agung. | ||||||||||||||||
(7) | Atas penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan. | ||||||||||||||||
(8) | Ketentuan mengenai format dokumen SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), daftar rincian Harta bersih, daftar Utang, dan daftar rincian pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf f, serta Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 11
(1) | Wajib Pajak dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terdapat:
|
(2) | Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. |
(3) | Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat. |
(4) | SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
(5) | Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat:
|
(6) | Atas penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan. |
(7) | Surat Keterangan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya menggantikan Surat Keterangan yang diterbitkan sebelumnya. |
Pasal 12
(1) | Wajib Pajak dapat mencabut SPPH yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Pencabutan SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. |
(3) | Pencabutan SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat. |
(4) | Pencabutan SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Wajib Pajak dengan menyampaikan SPPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dengan mengisi kolom Harta, Utang, dan Harta bersih dengan nilai 0 (nol). |
(5) | Atas penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan. |
(6) | Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai akibat dicabutnya SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 13
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara Harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7). |
(2) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat kesalahan penulisan dan/atau kesalahan penghitungan dalam Surat Keterangan. |
(3) | Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta bersih yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (4), dan/atau Pasal 7 ayat (1) huruf d, atau Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan. |
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan atau kelebihan pembayaran jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final yang tercantum dalam Surat Keterangan, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat klarifikasi kepada Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal berdasarkan surat klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final, Wajib Pajak:
|
(6) | Dalam hal Wajib Pajak:
|
(7) | Surat pembetulan atas Surat Keterangan berdasarkan keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a memuat penyesuaian nilai Harta dan/atau Utang. |
(8) | Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai akibat diterbitkannya surat pembetulan atau pembatalan atas Surat Keterangan, Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(9) | Ketentuan mengenai format surat klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan surat pembetulan serta surat pembatalan atas Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 14
(1) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf b angka 1 harus dibayar lunas ke kas negara melalui bank persepsi, pos persepsi, atau lembaga persepsi lainnya menggunakan kode billing. |
(2) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadministrasikan sebagai Pajak Penghasilan Final. |
(3) | Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan kode akun pajak 411128 (empat satu satu satu dua delapan) dan:
|
(4) | Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan negara yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final setelah divalidasi dengan NTPN. |
BAB V
PENGALIHAN HARTA KE DALAM WILAYAH NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN
INVESTASI HARTA BERSIH
Pasal 15
(1) | Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf d wajib mengalihkan Harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. |
(2) | Pengalihan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. |
(3) | Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta bersih yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat mengalihkan Harta bersih tersebut ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama 5 (lima) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan. |
(4) | Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan Harta bersih pada:
|
(5) | Investasi Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. |
(6) | Wajib Pajak dapat melakukan perpindahan investasi:
|
(7) | Dalam hal investasi Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara bertahap, perhitungan jangka waktu investasi paling singkat 5 (lima) tahun dihitung sejak nominal dana yang tercantum dalam Surat Keterangan telah diinvestasikan seluruhnya paling lambat tanggal 30 September 2023. |
(8) | Dalam hal sampai dengan tanggal 30 September 2023 Wajib Pajak tidak menginvestasikan Harta bersih sesuai dengan nominal dana yang tercantum dalam Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), perhitungan jangka waktu investasi paling singkat 5 (lima) tahun untuk bagian Harta bersih yang diinvestasikan dihitung sejak tanggal 30 September 2023. |
(9) | Perpindahan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku ketentuan:
|
(10) | Dalam hal terdapat jeda waktu antara pencairan investasi sebelumnya dan penempatan investasi berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf c, jeda waktu tersebut paling lama 2 (dua) tahun dan Wajib Pajak wajib menyelesaikan kewajiban pemenuhan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 7 (tujuh) tahun sejak nominal dana yang tercantum dalam Surat Keterangan telah diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8). |
Pasal 16
(1) | Investasi Harta bersih dalam kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf a dilakukan dalam bentuk:
|
(2) | Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengolahan bahan baku sumber daya alam menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang menambah nilai bahan baku sumber daya alam tersebut. |
(3) | Kegiatan usaha sektor energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengusahaan sektor energi yang dihasilkan dari bahan yang dapat terus diperbarui. |
(4) | Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kegiatan usaha sektor energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai tujuan investasi Harta bersih, ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 17
(1) | Dalam hal Wajib Pajak menginvestasikan Harta bersih dalam Surat Berharga Negara, harus memenuhi persyaratan:
|
(2) | Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan pada Surat Berharga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf e dan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan pada Surat Berharga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf e atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Pembelian Surat Berharga Negara dalam mata uang asing dalam bentuk dolar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai strategi pengelolaan pembiayaan. |
(5) | Struktur Surat Berharga Negara yang diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana serta periode waktu transaksi pembelian Surat Berharga Negara oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Menteri. |
(6) | Bagi Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan pada Surat Berharga Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan salinan Surat Keterangan kepada Dealer Utama. |
(7) | Ketentuan dan tata cara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penjualan Surat Berharga Negara di pasar perdana domestik dengan cara Private Placement, kecuali ketentuan mengenai minimal nominal penawaran pembelian Surat Berharga Negara. |
(8) | Dealer Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib menyampaikan laporan penempatan investasi pada Surat Berharga Negara di pasar perdana kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(9) | Penyampaian laporan oleh Dealer Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(10) | Ketentuan mengenai format laporan penempatan investasi pada Surat Berharga Negara di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 18
(1) | Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf d dan/atau menginvestasikan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf e harus menyampaikan laporan realisasi kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Informasi investasi yang dicantumkan dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi per akhir tahun buku sebelum tahun laporan disampaikan. |
(3) | Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama:
|
(4) | Ketentuan mengenai format laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VI
PENGENAAN TAMBAHAN PAJAK PENGHASILAN FINAL ATAS
BAGIAN HARTA BERSIH YANG TIDAK DIALIHKAN DAN/ATAU
DIINVESTASIKAN
Pasal 19
(1) | Harta bersih yang dinyatakan Wajib Pajak untuk:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat teguran terhadap Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Berdasarkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Wajib Pajak harus:
|
(4) | Terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sebesar:
|
(5) | Pembayaran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan kode akun pajak 411128 (empat satu satu dua delapan) dan kode jenis setoran 107 (satu nol tujuh). |
(6) | Terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sebesar:
|
(7) | Pembayaran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menggunakan kode akun pajak 411128 (empat satu satu dua delapan) dan kode jenis setoran 108 (satu nol delapan). |
(8) | Dalam hal berdasarkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak:
|
(9) | Terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tambahan Pajak Penghasilan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebesar:
|
(10) | Pembayaran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan dengan menggunakan kode akun pajak 411128 (empat satu satu dua delapan) dan kode jenis setoran 317 (tiga satu tujuh). |
(11) | Terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tambahan Pajak Penghasilan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebesar:
|
(12) | Pembayaran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dilakukan dengan menggunakan kode akun pajak 411128 (empat satu satu dua delapan) dan kode jenis setoran 318 (tiga satu delapan). |
(13) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diterbitkan sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya batas waktu investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) atau ayat (10). |
(14) | Ketentuan mengenai format surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan SPT masa Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VII
PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN
PERPAJAKAN SETELAH PENGUNGKAPAN HARTA BERSIH
Pasal 20
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d yang telah dicabut oleh Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak telah diterbitkan Surat Keterangan, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d angka 1 sampai dengan angka 9. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dan telah memperoleh Surat Keterangan, tetapi berdasarkan data dan/atau informasi yang diterima atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak diketahui permohonan tersebut tidak dicabut, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan Surat Keterangan. |
Pasal 21
(1) | Bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, harus membukukan nilai Harta bersih yang disampaikan dalam SPPH sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca. |
(2) | Terhadap tambahan Harta dan Utang yang diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPPH yang:
|
(3) | Harta yang diungkapkan dalam SPPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) yang berupa aktiva berwujud, tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. |
(4) | Harta yang diungkapkan dalam SPPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan. |
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
(1) | Data dan informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang untuk melakukan penanganan tindak pidana, termasuk tindak pidana yang bersifat transnational organized crimes meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, perdagangan manusia, dan/atau pencucian uang, otoritas yang berwenang dimaksud tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 23
Menteri dapat menyelenggarakan manajemen data dan informasi dalam rangka pelaksanaan program pengungkapan sukarela.
Pasal 24
(1) | Terhadap Wajib Pajak yang mencabut SPPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Dalam hal terdapat putusan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali atas Wajib Pajak yang mencabut SPPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), putusan tersebut menjadi dasar Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 25
Terhadap Surat Keterangan yang dibatalkan berdasarkan surat pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. | Wajib Pajak dianggap tidak melakukan pengungkapan Harta bersih; dan |
b. | kepada Wajib Pajak tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 8, dan/atau Pasal 22 ayat (1). |
Pasal 26
Terhadap penyampaian SPPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 12 ayat (4) yang diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menerbitkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7), Pasal 11 ayat (6), dan Pasal 12 ayat (5) sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya prosedur penyampaian SPPH secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, Direktur Jenderal Pajak menentukan prosedur manual dalam penyampaian SPPH.
Pasal 28
(1) | Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan program pengungkapan sukarela Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang, hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan kepada pengadilan pajak. |
(2) | Upaya hukum terhadap sengketa yang berkaitan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (8) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BENNY RIYANTO
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 1400