TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11/PMK.07/2010
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN
DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
BAB II
PENYAMPAIAN, EVALUASI DAN KOORDINASI RAPERDA
Pasal 2
(1) | Raperda provinsi yang telah disetujui bersama antara gubernur dan DPRD provinsi, sebelum ditetapkan menjadi Perda provinsi, terlebih dahulu disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD provinsi. |
(2) | Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen persetujuan bersama antara gubernur dan DPRD provinsi. |
Pasal 3
(1) | Raperda kabupaten/kota yang telah disetujui bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan menjadi Perda kabupaten/kota, terlebih dahulu disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota. |
(2) | Penyampaian Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen persetujuan bersama antara bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota. |
Pasal 4
(1) | Raperda provinsi sebelum ditetapkan menjadi Perda provinsi, terlebih dahulu harus dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri. |
(2) | Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. |
(3) | Hasil evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada daerah yang bersangkutan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Raperda dimaksud. |
Pasal 5
(1) | Raperda kabupaten/kota sebelum ditetapkan menjadi Perda kabupaten/kota, terlebih dahulu harus dievaluasi oleh Gubernur. |
(2) | Gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. |
(3) | Hasil evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh gubernur kepada daerah yang bersangkutan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Raperda dimaksud. |
Pasal 6
Evaluasi dan koordinasi Raperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan untuk menjamin agar Raperda tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
BAB III
PENETAPAN RAPERDA DAN PENYAMPAIAN PERDA
Pasal 7
(1) | Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa persetujuan, Gubernur menetapkan Raperda provinsi menjadi Perda provinsi. |
(2) | Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi Raperda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa penolakan, gubernur bersama DPRD provinsi memperbaiki Raperda provinsi tersebut. |
(3) | Raperda provinsi yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kembali oleh gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan sebagai laporan. |
(4) | Raperda provinsi yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Gubernur menetapkan Raperda provinsi menjadi Perda provinsi. |
(5) | Raperda provinsi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4), disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan Perda provinsi. |
Pasal 8
(1) | Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berupa persetujuan, bupati/walikota menetapkan Raperda kabupaten/kota menjadi Perda kabupaten/kota. |
(2) | Dalam hal hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berupa penolakan, bupati/walikota bersama DPRD kabupaten/kota memperbaiki Raperda kabupaten/kota. |
(3) | Raperda kabupaten/kota yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kembali oleh bupati/walikota kepada gubernur dan Menteri Keuangan sebagai laporan. |
(4) | Raperda kabupaten/kota yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, bupati/ walikota menetapkan Raperda kabupaten/kota menjadi Perda kabupaten/kota. |
(5) | Raperda kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan oleh bupati/walikota kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan Perda kabupaten/kota. |
BAB IV
PEMBATALAN PERDA
Pasal 9
(1) | Terhadap Perda yang ditetapkan tetapi tidak mengikuti hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 sehingga bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. |
(2) | Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang diakibatkan oleh adanya perubahan kebijakan nasional, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. |
(3) | Berdasarkan rekomendasi pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri Dalam Negeri mengajukan Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda kepada Presiden paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rekomendasi pembatalan Perda dimaksud. |
(4) | Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkannya Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
BAB V
BENTUK PELANGGARAN
Pasal 10
(1) | Bentuk pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah terbagi dalam dua kelompok, yaitu: | |
a. | Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Raperda menjadi Perda; dan | |
b. | Pelanggaran terhadap larangan pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan. | |
(2) | Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: | |
a. | Daerah menetapkan Raperda dengan tidak melalui proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1); | |
b. | Daerah menetapkan Raperda tetapi tidak mengikuti hasil evaluasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (3); | |
c. | Daerah tidak menyampaikan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 8 ayat (5). | |
(3) | Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Daerah tetap melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan oleh Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). |
BAB VI
SANKSI
Bagian Kesatu
Bentuk Sanksi
Pasal 11
(1) | Sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi Daerah yang tidak memperoleh DAU. |
(2) | Sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan. |
Bagian Kedua
Besaran Penundaan atau Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau
Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan
Pasal 12
(1) | Besaran sanksi penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk setiap periode penyaluran. |
(2) | Besaran sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditetapkan sebesar perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dipungut berdasarkan Perda yang telah dibatalkan untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan. |
(3) | Perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dihitung berdasarkan pendekatan rencana penerimaan yang tercantum dalam APBD Daerah yang bersangkutan. |
(4) | Dalam hal rencana penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah dibatalkan tidak atau belum tercantum dalam APBD, maka sanksi pemotongan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan setiap periode penyaluran. |
(5) | Pengenaan sanksi pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan yang terbesar setelah membandingkan hasil penghitungan 5% (lima persen) dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan setiap periode penyaluran. |
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN DAN PENCABUTAN SANKSI
Pasal 13
(1) | Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan mengenai pengenaan sanksi bagi Daerah yang melakukan Pelanggaran. |
(2) | Khusus untuk pengenaan sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan, keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat teguran kepada Daerah yang bersangkutan. |
(3) | Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi pemberitahuan bahwa Daerah yang bersangkutan akan dikenakan Sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan jika Daerah tidak menghentikan pelaksanaan Perda yang telah dibatalkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda. |
(4) | Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan copy salinan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda. |
(5) | Keputusan pengenaan Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan dalam hal Kepala Daerah menyampaikan surat atau keputusan penghentian pelaksanaan Perda yang dibatalkan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya surat teguran dimaksud. |
(6) | Keputusan pengenaan Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan. |
Pasal 14
(1) | Pengenaan Sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dilakukan mulai pada penyaluran bulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi. |
(2) | Pengenaan Sanksi berupa penundaan atau pemotongan DBH Pajak Penghasilan dilakukan mulai pada penyaluran triwulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi. |
Pasal 15
(1) | Pelaksanaan penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan tidak dapat melampaui tahun anggaran yang bersangkutan. |
(2) | DAU atau DBH Pajak Penghasilan yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disalurkan pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan. |
(3) | Dalam hal sanksi belum dicabut, penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya. |
Pasal 16
(1) | Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan dalam rangka pencabutan sanksi. | |
(2) | Pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: | |
a. | terhadap penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan karena Daerah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, pencabutan sanksi dilakukan apabila Perda telah diterima dan selesai dievaluasi; dan | |
b. | terhadap pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan karena Daerah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, pencabutan sanksi dilakukan apabila Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menerima surat atau keputusan Kepala Daerah mengenai penghentian pelaksanaan pemungutan pajak dan/atau retribusi dari Perda yang telah dibatalkan. | |
(3) | Keputusan pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | |
(4) | DAU atau DBH Pajak Penghasilan yang ditunda penyalurannya sebagai akibat dari pengenaan sanksi disalurkan pada penyaluran berikutnya setelah tanggal pencabutan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
BAB VIII
PEMANTAUAN
Pasal 17
(1) | Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas pemenuhan ketentuan mengenai prosedur penetapan Perda, penyampaian Perda, dan penghentian pelaksanaan pemungutan atas Perda yang telah dibatalkan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap tahun anggaran. |
(3) | Hasil pemantauan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan sanksi. |
BAB IX
KETENTUAN TEKNIS
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 28